Ketua Komisi II DPRD Natuna, Hadiri Rapat Terkait Sengketa Penguasaan Lahan dan Tapal Batas Sedanau Dengan Gunung Durian Kecamatan Bunguran Utara.
NATUNA, Infokepri.com - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menggelar pertemuan dengan Pemerintah Kecamatan Bunguran Barat, Bunguran Utara, Bagian Tata Pemerintahan Setda Natuna dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Natuna.
Pertemuan berlangsung di ruang rapat Banggar DPRD Natuna, Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur, Senin (08/02/2021).
Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Komisi I DPRD Natuna, Wan Arismunandar, didampingi Ketua Komisi II DPRD Marzuki, Wakil Ketua II DPRD Jarmin Sidik, Ketua DPRD Natuna Daeng Amhar dan sejumlah Anggota DPRD lainnya, diantaranya Pang Ali, Ibrahim, Husin, Wan Ricci Saputra.
Pertemuan tersebut digelar untuk membahas masalah sengketa tapal batas wilayah antara Kecamatan Bunguran Barat dan Kecamatan Bunguran Utara (Kelarik). Tepatnya diperbatasan antara Kampung Segeram Kelurahan Sedanau, Bunguran Barat dan Desa Gunung Durian, Bunguran Utara.
“Makanya kita hadirkan kedua belah pihak, bersama pihak-pihak terkait, agar bisa kita mediasi, lalu bagaimana nanti solusinya, kita musyawarahkan bersama-sama,” ucap Wan Aris.
Dalam kesempatan itu, Wan Aris menanyakan kronologi hingga masalah tapal batas lahan ini bisa terjadi kepada kedua belah pihak dan pihak-pihak terkait lainnnya. Misalnya kepada Camat dan Mantan Camat Bunguran Utara, Mantan Lurah Sedanau, Camat Bunguran Barat, Kabag Tapem dan meminta pendapat ke pihak BPN Natuna.
Camat Bunguran Utara, Mardi Hendrika, menyebutkan bahwa sebenarnya permasalahan penguasaan batas wilayah antara Pemerintah Desa Gunung Durian dan Segeram, Kelurahan Sedanau, pernah di musyawarahkan bersama para aparat Pemerintah, tokoh adat dan masyarakat yang ada didua wilayah tersebut, pada tahun 2018 lalu.
Namun belakangan timbul masalah baru, mengenai tumpang tindih penerbitan surat tanah atau alashak dari masing-masing pemerintah yang berwenang.
“Masalah sebenarnya adalah penerbitan surat tanah tersebut,” terang Mardi Hendrika.
Kemudian Kepala Desa Gunung Durian, Amran, menambahkan, bahwa permasalahan timbul setelah Pemerintah Kelurahan Sedanau diketahui telah menerbitkan surat tanah atau alashak untuk warganya, yang nota benenya lokasi lahan tersebut berada diwilayah Desa Gunung Durian, Kecamatan Bunguran Utara.
Padahal, kata dia, lokasi lahan yang disuratkan oleh Pemerintah Kelurahan Sedanau, kondisinya masih berupa hutan tua.
“Kan aneh, jika hutan bisa disuratkan, padahal dasar hukumnya tidak ada. Kecuali memenuhi kriteria, misalnya itu adalah tanah warisan, lahan usaha masyarakat atau perkebunan,” ungkap Amran.
Dulu pada tahun 2011, sambung Amran, pihaknya pernah menemui Ketua RW dan warga Segeram, agar tidak menyuratkan lahan yang masih berupa hutan tua, dengan alasan belum ada dasar hukumnya.
Jika pun terbit surat alashak, hanya berlaku selama 6 (enam) bulan. Namun jika hingga kurun waktu 6 bulan tersebut lahan masih juga tidak dikelola oleh sang pemilik, maka harus dikembalikan lagi ke negara.
“Makanya saya tidak mau mengeluarkan surat alashak kepada masyarakat, karena khawatir nanti dijual, meskipun saya tahu itu masuk wilayah saya,” ujar Amran.
“Dan anehnya lagi di surat alashak yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sedanau itu, peta jalannya lurus, padahal aslinya jalannya berbelok-belok. Jadi pertanyaan saya juru ukurnya dulu bagaimana ?,” tanya Amran.
Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Camat Bunguran Utara, Sabki, bahwasannya permasalahan batas wilayah ini sebelumnya sudah sering dibahas dan dimusyawarahkan antar kedua belah pihak. Hingga akhirnya batas-batas wilayah tersebut telah ditetapkan oleh pihak Tapem Setda Natuna serta keluarnya SK Bupati Natuna.
“Dulu waktu saya masih Camat (Bunguran Utara), batas-batasnya sudah disepakati, yaitu batas antara Kecamatan Bunguran Utara, Bunguran Timur Laut, Bunguran Barat dan Bunguran Barubi. Itu batasnya sudah jelas, petanya ada, titik koordinatnya juga ada, tapi saya heran kok sekarang timbul lagi masalah tapal batas wilayah ini,” ungkap Sabki.
Penata Kadastral BPN Natuna, Bayu Agusty Wijanarko (kanan), saat memberikan penjelasan terkait administrasi pendaftaran tanah.
Sementara itu Penata Kadastral BPN Natuna, Bayu Agusty Wijanarko, menjelaskan, bahwa berdasarkan Permendagri Nomor 1 tahun 2006 tentang pedoman penegasan batas daerah, yang berhak menentukan batas administrasi disuatu Desa/Kelurahan dan Kecamatan, adalah Pemerintah Daerah setempat.
Penentuan batas wilayah administrasi biasanya dilihat berdasarkan peta topografi, sebaran alam seperti sungai, jalan dan lain sebagainya, serta berdasarkan persetujuan dari para ketua adat, tokoh masyarakat dan persetujuan dari perangkat-perangkat Pemerintah yang berwenang.
“Pokok permasalahan sebenarnya kalau menurut saya itu adalah batas wilayah administrasi, bukan batas penguasaan wilayah yang ada di Desa-desa. Artinya yang berhak mengatur batas wilayah administrasinya adalah Pemda sendiri,” sebut Bayu.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah disebutkan dipasal 1, bahwa setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan data yuridis yang tersimpan di dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah.
Lalu di pasal 2 disebutkan bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya terbuka bagi instansi Pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
“Jadi jelas, surat menyurat tanah itu hanya administrasi saja, jadi jangan khawatir tanahnya hilang. Karena berdasarkan PP nomor 24 tahun 1997, pendaftaran tanah itu harus diakui turun temurun serta disetujui oleh masing-masing pemilik sepadan tanah. Menurut saya tinggal dirubah saja administrasinya, misalnya yang tadinya masuk wilayah Bunguran Barat, ya tinggal dirubah saja administrasinya menjadi di Bunguran Utara,” terang Bayu.
Kemudian Kabag Tapem Setda Natuna, Khaidir, juga menjelaskan, bahwa permasalahan batas wilayah Desa dan Kecamatan yang melibatkan Pemerintah Kecamatan Bunguran Barat dan Bunguran Utara, sudah final di tahun 2018 lalu.
“Tahun 2018 lalu permasalahan ini sudah kita selesaikan. Sebenarnya dimanapun tanah tersebut berada, tidak ada masalah. Kami sudah sepakat, orang mau tinggal dimana saja dan tanahnya berada dimana, menurut kami tinggal ikuti saja posisi tanahnya itu dimana,” tegas Khaidir.
Menyikapi permasalahan tersebut diatas, DPRD Natuna meminta kepada pihak-pihak yang bersengketa, agar menyelesaikan permasalahan ini dengan musyawarah. Kemudian juga meminta agar Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, melalui Instansi terkait, agar turut bersama-sama menyelesaikan permasalahan batas wilayah antar kedua Kecamatan tersebut dengan baik, supaya tidak timbul lagi masalah serupa dikemudian hari. (Nard).