Pesangon Karyawan Belum Dibayar, Komisi IV DPRD Batam Akan Sidak Ke PT Sinergy Indonesia
Jumat, 31 Januari 2020
BATAM, Infokepri.com - Komisi IV DPRD Kota Batam menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan PT. Sinergy Indonesia yang dilakukan secara sepihak serta terkait pengawasan dan perizinan investasi di kota Batam.
RDPU itu digelar di ruang rapat komisi IV DPRD Kota Batam, Batam Centre, Batam, Kamis (29/1/2020).
Turut hadir dalam RDPU itu pihak Dinas Tenaga Kerja ( Disnaker ) Kota Batan dan Provinsi Kepri, DMPTSP kota Batam, Perwakilan Perusahaan PT Sinergy Indonesia.
Salah seorang mantan karyawan PT Sinergy Indonesia, Maria mengatakan perusahaan tempatnya bekerja berdiri dari tahun 2003, dengan status Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) dan di tahun 2008 statusnya berubah menjadi Penanam Modal Asing (PMA).
" PT Sinergy Indonesia itu telah berdiri kurang lebih 15 tahun, dalam 3 tahun ini merugi sehingga banyak karyawan yang di PHK," katanya.
" Karyawan PT Sinergy Indonesia di PHK dengan tiga tahap, tahap pertama pak Irwanda yang di PHK secara sepihak oleh perusahaan, dan selanjutnya saya juga di PHK secara sepihak tanpa ada surat peringatan, dan tidak menerima hak-hak sesuai UU tenaga kerja, Selanjutnya yang di PHK 27 orang karyawan, yang senasib dengan kami," tambahnya.
Permasalahan ini, katanya, sudah disampaikan ke Disnaker kota Batam namun tidak ada solusi dan jalan keluarnya.
Kemudian diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Tanjungpinang. Di PHI itu ada 3 gugatan yang dikabulkan, tetapi pihak perusahaan melakukkan kasasi/banding ke Mahkamah Agung (MA).
Irwanda yang juga mantan karyawan PT Sinergy Indonesia mengatakan dirinya yang pertama kali di PHK dan telah 3 kali melakukan pertemuan di Disnaker kota Batam namun tidak pernah dihadiri oleh pihak perusahaan.
" Tapi dari hasil pertemuan tersebut (Bipartit) pihak perusahaan menyetujui risalah dengan membayar Rp 2 miliar," dan hal itu diketahui oleh Pimpinan Perusahaan, tetapi sampai saat ini pihak perusahaan tidak melakukkan pembayaran sesuai yang disepakatinya," katanya.
Lebih lanjut dikatakan setelah karyawan di PHK ternyata diketahui Perusahaan mempunyai anak perusahaan bernama PT SPL. Alat - alat PT Sinergy Indonesia sebagian besar dioperasikan ke PT SPL..
" Apakah alat-alat itu dijual atau dialihkan kita tidak tahu, " jelasnya.
Nasrul yang juga mantan karyawan perusahaan tersebut mengatakan bahwa PT Sinergy Indonesia dipimpin oleh dua orang pemimpin yaitu Presiden Direktur Warga Negara Singapura dan Direkturnya Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Batam.
" Kasus Maria dan Irwandi sama dengan saya hanya beda waktu. Mereka di PHK secara perorangan dan kami di PHK secara kolektif sebanyak 27 orang. Kami di PHK tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu dan alasan yang jelas," katanya dengan nada sedih.
Ia mengatakan sejak tanggal 31 Agustus 2018 lalu, mereka tidak dipekerjakan lagi dengan alasan perusahaan merugi, dan hak - hak pekerja akan dipenuhi.
" Pihak perusahaan menyebutkan selama tiga tahun merugi, tetapi pihak magement perusahaan tidak bisa membuktikannya," katanya.
Lebih lanjut Nasrul mengatakan rata-rata karyawan yang di PHK sudah bekerja diatas 10 tahun dan Ia sudah bekerja selama 13 tahun.
" Pertemuan pernah digelar dengan Disnaker kota Batam setahun yang lalu, hasil pertemuan itu ganti rugi yang diberikan pihak perusahaan untuk 27 karyawan yang di PHK sebesar 10 % sampai dengan 20 % atau sekitar Rp 100 juta," hingga Rp 150 juta,- per orang," Katanya.
Sebagian besar karyawan keberatan dan tidak menerima ganti rugi itu dan karyawan meminta negosiasi namun oleh pihak perusahaan menyuruh karyawan membuat surat pernyataan yang menyatakan keberatan dengan hasil pertemuan tersebut.
Menyikapi hal tersebut Perwakilan PT. Sinergy Indonesia, Tresia mengatakan PT. Sinergy Indonesia berubah dari PMDN ke PMA pada tahun 2006 lalu.
Sebagai Presiden Direktur perusahaan tersebut adalah Joseph yang merupakan Warga Negara Singapura, sedangkan Direkturnya adalah H. Abdul Ismail Warga Negara Indonesia (WNI) berdomisili di Batam dan perusahaan bergerak dibidang jasa transportasi.
" Awalnya karyawan ada sekitar 40 orang, dan sekarang tinggal 8 orang, untuk asetnya ada yang sudah dijual tetapi tidak semuanya," katanya.
Perusahaan rugi, katanya, lantaran tidak ada pemasukan dan perkara ini sudah dikuasakan kepada pengacara dan perusahaan telah mengajukan banding ke tingkat MA setelah dari PHI Tanjungpinang. Hasil putusan MA akan dipertimbangkan oleh pihak manegemen yang ada di Singapura.
Menyikapi hal tersebut Ketua Komisi IV, Ides Madri mengatakan jika berbicara masalah hukum sudah on the track, hanya menunggu sampai inkrah.
" Kami akan melakukkan pendekatan dari sisi lain tanpa harus mengganggu proses hukum yang sedang berjalan. Kami akan melakukkan sidak secara mendadak, apa yang bapak dan ibu sampaikan sekarang nanti akan kami cocokkan," katanya.
Tekait, Penanam Modal Asing (PMA), katanya, pihak DPRD Kota Batam juga sedang membuat dan merancang Perda terhadap Pemantau Orang Asing.
" Dalam waktu dekat ini Perda tersebut semoga terealisasi, karena banyak kasus - kasus seperti ini sering terjadi," katanya.
( AP/Pay)