Peringati HANI Tahun 2019, ORI dan BNNP Kepri Gelar Diskusi
Sabtu, 29 Juni 2019
BATAM, Infokepri.com - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Pusat, besama ORI Perwakilan Kepri, dan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kepri mengadakan diskusi dan tanya jawab dalam rangka memperingati Hari Anti Narkoba dan Hari Anti Penyiksaan yang dilaksanakan di Batam Centre, Batam, Jumat (28/6/2019).
Dr Ninik Rahayu SH, MS dari Ombudsman RI mengatakan setelah keluarnya Peraturan Menteri tahun 2018, Instansi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yaitu, BNN, Kementrian Kesehatan dan Kementrian Sosial. Sudah sejauh mana penerapan/pelaksanaannya serta dampak efektif dari peran ketiga lembaga tersebut dalam proses rehabilitasi penyalahgunaan narkotika.
Tahun 2018 lalu, katanya, ORI menemukan kondisi Rumah Tahanan dan Lembaga Permasyarakatan, (Rutan dan Lapas) di Indonesia, dihuni oleh kasus tindak pidana Narkoba hampir 70 %, baik perempuan dan laki-laki. Dari informasi yang didapat, dari tahanan yang mana sebagian besar perempuan (pelaku ibu dan anak) terkait persoalan ekonomi.
Menurut kami ini harus ada dilakukan pembenahan secara menyeluruh, dalam upaya pencegahan Narkotika, terutama secara rehabilitas yang bisa menjadi salah satu sarana untuk pemakai dan pengedar narkotika bisa dikurangi dan diberantas.
Rehabilitasi metode non punitif kepada para pecandu masih memiliki keterbatasan, IPWL mekanismenya sejauh mana efektifnya. Pelindungan dan penanganan para pencandu atau pengedar Narkotika yang bersifat koorprensif dan low cost (biaya rendah) dari pada rawat inap dalam menjalani rehabilitasi.
“Jika, ketiga lembaga ini melakukan secara berbeda-beda tidak akan ada hasil yang maksimal, kita akan dihadapkan terus menerus dengan persoalan yang sama. Dimana jaminan perlindungan hukum bagi pengguna atau pengedar untuk melakukan rehabilitas, yang mana takut melapor karena dijadikan tersangka,” katanya.
Sementara itu Plh Kepala BNNP Kepri, Drs Ali Chozih Apt, M.Si mengatakan Standar layanan rehabilitas BNN, kerahasian data rekam medis pasien/klien dijaga, kecuali diminta oleh pihak pengadilan.
“Jika, ketiga lembaga ini melakukan secara berbeda-beda tidak akan ada hasil yang maksimal, kita akan dihadapkan terus menerus dengan persoalan yang sama. Dimana jaminan perlindungan hukum bagi pengguna atau pengedar untuk melakukan rehabilitas, yang mana takut melapor karena dijadikan tersangka,” katanya.
Sementara itu Plh Kepala BNNP Kepri, Drs Ali Chozih Apt, M.Si mengatakan Standar layanan rehabilitas BNN, kerahasian data rekam medis pasien/klien dijaga, kecuali diminta oleh pihak pengadilan.
Ia mengatakan untuk klien/pemakai atau pecandu mengikuti assesmen medis, ini bisa langsung direhabilitas, sedangkan yang mengalami proses hukum pengedar/dalam jaringan, mengikuti asesmen terpadu. Dia pencandu dan juga pengedar, mekanisme setelah diputus hukuman dari pengadilan, baru bisa direhabilitas.
Lebih lanjut dikatakannya koordinasi kelembagaan masih belum nyambung masih terbentur mekanisme disetiap lembaga/intitusi (Kejaksaan, Kepolisian). Sebenarnya penyidik-pengawas bisa meminta pengadilan agar tersangkanya (pengedar/pecandu) memperoleh rehabilitasi langsung. Tapi, saat ini jika klien tidak terlibat dalam jaringan dan sebagai pengedar.
Penerapan IPWL oleh Penyidik/Pengawas, masih ada ketakutan dan dianggap main-main, karena pengguna atau pengedar takut dengan tidak adanya perlindungan hukum.
Dari data penelitian jumlah pecandu dibagi total penduduk di Kepri terdapat 1,71 % ditahun 2017, dan peningkatan tidak jauh beda di tahun 2018, dan untuk data ditahun 2019, di bulan Juli ini kita mulai penelitiannya lagi.
Terhitung hari ini yang menjalani rawat inap, anak-anak 8 orang, wanita 1 orang, dan Laki-laki 77 orang. Dan Klien yang terbanyak dari Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Riau dan Kepri.
“Klien/Pasien rehabilitasi BNNP Kepri, bisa dari mana saja. Mereka bisa mengirim ke sini, karena tergantung keluarganya, setiap hari selalu ada 2 atau 3 orang pasien,” katanya..
Dalam Pertemuan tanya jawab ada beberapa hal yang menjadi catatan diantaranya :
Lebih lanjut dikatakannya koordinasi kelembagaan masih belum nyambung masih terbentur mekanisme disetiap lembaga/intitusi (Kejaksaan, Kepolisian). Sebenarnya penyidik-pengawas bisa meminta pengadilan agar tersangkanya (pengedar/pecandu) memperoleh rehabilitasi langsung. Tapi, saat ini jika klien tidak terlibat dalam jaringan dan sebagai pengedar.
Penerapan IPWL oleh Penyidik/Pengawas, masih ada ketakutan dan dianggap main-main, karena pengguna atau pengedar takut dengan tidak adanya perlindungan hukum.
Dari data penelitian jumlah pecandu dibagi total penduduk di Kepri terdapat 1,71 % ditahun 2017, dan peningkatan tidak jauh beda di tahun 2018, dan untuk data ditahun 2019, di bulan Juli ini kita mulai penelitiannya lagi.
Terhitung hari ini yang menjalani rawat inap, anak-anak 8 orang, wanita 1 orang, dan Laki-laki 77 orang. Dan Klien yang terbanyak dari Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Riau dan Kepri.
“Klien/Pasien rehabilitasi BNNP Kepri, bisa dari mana saja. Mereka bisa mengirim ke sini, karena tergantung keluarganya, setiap hari selalu ada 2 atau 3 orang pasien,” katanya..
Dalam Pertemuan tanya jawab ada beberapa hal yang menjadi catatan diantaranya :
- Rehabilitasi sebagai metode Non-Punitif kepada para pecandu masih memiliki keterbatasan gate keeper yakni jumlah IPWL;
- Dalam penyusunan grand design program rehabilitasi nasional, masih muncul “Arogansi Sektoral” dari masing-masing Kementerian/Lembaga;
- Rencana program rehabilitasi dengan sistem rawat jalan yang dirasa lebih efektif dan bersifat low cost dari pada rawat inap oleh BNN, hal tersebut tidak didukung oleh Kementerian/Lembaga lain;
- Rehabilitasi diselenggarakan oleh 3 (tiga) Kementerian/Lembaga dengan metode, anggaran dan orang yang berbeda-beda, serta tidak ada standarisasi. (AP)